Tanpa Nama
Jumat, 03 Desember 2010
Minggu, 18 Juli 2010
CURAHAN HATI SEORANG SATPOL PP
Kamis, 06 Juli 2010
“Selamat petang pemirsa, isu Satpol PP akan dipersenjatai dengan senjata api sudah merebak dan menjadi perbincangan hangat dimasyarakat………..”
Berita itu membuat aku langsung duduk di depan televisi tanpa mengganti pakaian dinasku terlebih dahulu. Aku Arman, aku bekerja di dinas Satpol PP kota Jakarta. Sudah tiga tahun aku bekerja di instansi pemerintah ini. Pekerjaan yang membuatku menderita karena dibenci oleh banyak masyarakat, terutama masyarakat kecil. Aku harus menggantikan mimpi ayahku yang ingin menjadi seorang Satpol PP. Ayah sendiri gagal dalam tes Satpol PP dan sekarang hanya menjadi supir metromini. Hanya melihat anaknya menjadi Satpol PP lah yang membuatnya bahagia. Aku tidak ingin mengecewakan beliau, padahal aku tidak menginginkan pekerjaan ini.
Aku tinggal di daerah Tanjung Priuk. Daerah yang menjadi tempat terjadinya konflik antara Satpol PP dengan warga Priuk. Ketika konflik itu terjadi pun aku ikut menjadi bagian Satpol PP. Atasanku sempat berbicara padaku sebelum memulai aksi penggusuran pada waktu itu, “Man, saya tahu kamu merupakan warga Priuk tapi kamu harus bertindak professional, kamu harus menaati sumpah kamu untuk membela bangsa dan negara dan menjalankan apa yang diperintahkan oleh pemerintah. Pemerintah lah yang tahu apa yang diinginkan rakyat”. Aku hanya bisa mengiyakan ucapan atasanku itu.
Sehari sebelum tragedi Satpol PP dengan warga Priok itu keluargaku mengungsi sementara di rumah nenekku di Bandung. Aku bilang kepada tetangga bahwa aku mengambil cuti dari tugas untuk berlibur ke Bandung. Aku sempat ditanya oleh salah satu tetanggaku, “Man, untung kamu pergi liburan ke rumah nenekmu, kalau kamu bertugas besok dan bertemu saya di lapangan, saya tidak akan menganggapmu tetanggaku lagi”. Aku hanya bisa tersenyum maksa dan ayahku yang juga mendengar perkataan tadi pun hanya bisa diam.
Tapi aku akan hanya patuh pada keinginan rakyat karena kakekku yang seorang pensiunan TNI pernah berpesan, “Man, patuhilah perintah pemerintah dan atasanmu, jika mereka menyeleweng dalam memberikan tugas, maka patuhilah keinginan rakyat karena negara ini bukan milik sebagian orang (atasan/pemerintah), negara ini milik seluruh warga negara yang tinggal di bawah naungan merah putih”. Kakek yang ada di surga, aku akan patuh pada nasehatmu. Jika sampai Satpol PP dipersenjatai, aku akan mengundurkan diri.
Simpulan
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 26 Tahun 2010
- mengatur soal penggunaan senjata api bagi Satpol PP.
- petugas yang boleh menggunakan senjata api, yakni kepala satuan, kepala bagian/bidang, kepala seksi, komandan peleton, dan komandan regu. Namun para anggota satuan yang akan melaksanakan tugas operasional di lapangan diperbolehkan menggunakan paling banyak sepertiga dari seluruh anggota satuan.
- Jenis – jenis senjata api yang boleh digunakan, yakni senjata peluru gas atau peluru hampa, semprotan gas, dan alat kejut listrik. Senjata api dapat digunakan dengan izin dari Polri dan harus diajukan oleh gubernur, mengingat Satpol PP adalah perangkat pemerintah daerah untuk memelihara ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.
Lawan Satpol PP adalah warga negara Indonesia yang kebanyakan adalah warga menengah ke bawah bukannya teroris, tidak dipersenjatai api saja sudah banyak korban dari rakyat kecil yang dihasilkan oleh Satpol PP. Satpol PP adalah aparat pemerintah yang menduduki peringkat teratas dalam hal kasus pelanggaran HAM. Satpol PP adalah perangkat pemerintah daerah untuk memelihara ketertiban umum dan ketentraman masyarakat bukannya alat pemerintah untuk menyingkirkan rakyat kecil demi pembangunan. Akan lebih bijak jika cara yang dipakai adalah jalan damai (dialog) dalam memecahkan masalah bukan dengan senjata. Mengambil jalan kekerasan dalam menyalesaikan masalah merupakan cara yang bar – bar yang tidak mencirikan pemikiran manusia modern. Apakah manusia Indonesia adalah manusia modern dengan mental bar – bar ?
Senin, 12 April 2010
Ode Penggiran Jakarta
Kupaksa kepala kaki berdiri
Berat mata tutup 4 jam
Dimana kutinggal rokok-ku semalam?
Jatuh bangun kuraih sendok nasib-ku
Tak berubah sejak dua tahun yang lalu
Cekung mata kurus kerontang
Kopi mie instan kulit membalut tulang
* Tapi ku (dan kau/ tapi kau)
(Jangan) tidak pernah menyerah
Pantang (diulang) jangan tadahkan tangan
Di hati semua sama tinggi
Atas bawah akan berpindah
Nyanyikan, nyanyikan saja lagi
Suara kita akan terdengar
Terjal aspal debu Kampung Melayu
Kejar metro mini napas diburu
Bergulir roda ke timur Jakarta
Jejak kaki tinggalkan banyak cerita
Wajah letih peluh penuh guratan luka
Bergulat melawan tembok hati manusia
Tak tahan beban tagihan harus terbayar
Terjatuh, limbung, bangkit, Ayo coba!
Back To *
Keruh dalam kelam sampah air Ciliwung
Rentang tangan kaki-mu pendek terkurung
Mengais iba peluh ibu kota
Tantang nasib kapan giliran tiba
Disini banyak tercecer rongsok derita
Tak sedap bau aroma, palingkan mata
Bantar Gebang, Kebon Kacang, Prumpung,
Tanah Tinggi, Priok, Kemayoran
mau download lagunya silahkan klik:
http://www.index-of-mp3.com/download-The_Brandal_-_Ode_Pinggiran_Jakarta-iw-The_Brandal_Ode_Pinggiran_Jakarta.html
Selasa, 06 April 2010
Nasib Buruh Pendidikan
Guru adalah tokoh yang paling berperan dalam pembentukan generasi Indonesia yang akan datang. Tanpa guru tak akan ada presiden, tanpa guru tak akan ada menteri, tanpa guru tak akan ada ilmuwan. Guru adalah Nahkoda Kapal, membimbing dan mengarahkan kapal yang akan berlabuh ke tempat tujuan.
Semua kata guru di atas tidak membedakan jasa guru yang satu dengan yang lain, Akan tetapi status yang membedakan mereka, status Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Honorer yang membedakan mereka.
Padahal mungkin saja guru honorer turut andil dalam mendidik menteri, ilmuwan, maupun presiden. Ironisnya negara seakan – akan lupa dengan jasa mereka, seakan – akan tutup mata dengan nasib mereka.
Nasib guru honorer di negara kita sangat memprihatinkan. Banyak diantara mereka yang bekerja sambilan, ada yang sambil berjualan makanan, ada yang mengajar tidak di satu sekolah, ada yang menjadi tukang bakso bahkan ada yang menjadi juru parkir pinggir jalan, semua itu dilakukan agar mereka dapat mempertahankan hidup karena penghasilan mereka jauh dari cukup sebagai guru honorer.
Guru honorer ibarat buruh atau kuli pendidikan. Guru honorer dapat dipecat atau terpecat apabila sudah dikehendaki oleh satuan pendidikan terkait, baik sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), maupun sekolah menengah atas (SMA) dan sederajat. Durasinya bisa diperpanjang selama memberikan kepuasan dalam tingkat pengajaran dan hal-hal lain yang tidak melanggar kode etik guru. Seperti itulah yang tertuang dalam Hak Guru Non-PNS dalam Undang – Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Posisi meeka sama halnya dengan buruh dalam suatu sistem ketenagakerjaan.
Gaji para guru honorer atau non-PNS sangat jauh dari kata layak. Dalam UU BHP, gaji mereka disesuaikan dengan kinerja yang dicapai, apakah memberikan kepuasan tersendiri bagi lembaga pendidikan atau tidak, termasuk dengan peningkatan prestasi belajar anak didik.
Upah guru honorer masih jauh dibawah Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK). Maupun Upah Minimum Provinsi (UMP). Padahal tugas mereka sangat berat yaitu menciptakan generasi penerus bangsa yang akan memimpin bangsa ini. Membuat mereka cerdas, baik dalam kecerdasan otak (IQ), kecerdasan emosional (SQ) maupun kecerdasan spiritual (SQ).
Betapa sulitnya guru honorer mendapat fasilitas seperti rekan – rekan guru yang sudah diangkat menjadi PNS. Padahal tidak sedikit diantara rekan – rekan mereka itu yang bekerja dengan malas- malasan.
Pemerintah seakan – akan menutup mata, telinga dan hati mereka akan nasib para guru honorer. Presiden dan menteri saja naik gaji, bagaimana dengan nasib para guru honorer?.
Para guru honorer berharap pemerintah lebih peka terhadap nasib mereka. Ada yang sudah 15 tahun bahkan lebih, mengabdi pada pendidikan tetapi tidak kunjung diangkat menjadi PNS. Mereka ingin membahagiakan keluarga mereka. Membawa keluarga mereka hidup layak atas hasil mendidik generasi penerus bangsa. Mereka ingin meraskan angin segar atas jerih payah mereka dalam mengajar. Mereka ingin status yang sama dan kehidupan yang sama dengan rekan – rekan mereka yang sudah PNS
Para guru honorer juga berharap bahwa masalah ini menjadi salah satu prioritas utama pemerintah dalam dunia pendidikan. Agar tidak ada lagi seorang guru yang bekerja sambilan dengan berjualan bakso, tukang becak, juru parkei pinggir jalan dan lain sebagainya. . Tidak ada lagi status yang membedakan mereka, karena gelar guru sebagai Pahlawan tanpa tanda jasa tidak dibedakan menurut status mereka yaitu guru honorer atau PNS.
Rakyat Kehilangan Peminpin Panutan
Rakyat telah kehilangan pemimpin - pemimpin panutan yang berani mengatakan seperti itu.
Dahulu kita mengenal Soekarno yang kharismatik, dengan pidatonya yang membakar semangat rakyat. Soekarno yang tidak pernah mau menjadi anak buah kapitalisme, yang akan marah jika bangsanya dihina oleh negara lain, yang tidak cengeng ketika terjadi percobaan pembunuhan terhadapnya.
Soekarno dengan tegasnya menentang imperialisme dan kapitalisme, dengan lantangnya menyuarakan “ Ini dadaku, mana dadamu? Kalau
Putra Sang Fajar mungkin telah pergi, telah dikalahkan oleh senjata. Namun kharismanya tetap melekat dihati rakyat.
Sebenarnya ketika SBY naik menjadi presiden, timbul harapan inilah tokoh panautan rakyat. Kinerja yang baik dengan menjadikan KPK ditakuti oleh koruptor dan menjebloskan banyak koruptor ke dalam penjara. Akan tetapi,
Poilitik Reality Show SBY sebenarnya sah – sah saja. Itu merupakan strategi yang brilian, yang jitu dalam politiknya. SBY dapat memanfaatkan kecanggihan teknologi dalam pencitraan dirinya. Akan tetapi, jangan ada rekayasa untuk masyarakat seperti yang dilakukan banyak program Reality Show sekarang ini.
Sebenarnya, besarnya angka golangan putih (golput) pada pemilu 2009 yang lalu telah mengindikasikan bahwa rakyat sudah bosan dengan janji – janji, rakyat sudah tidak percaya akan kinerja para pemimpin negara yang terlalu mementingkan partai, yang bekerja atas nama partai bukan atas nama rakyat.
Rakyat